"Please, ya. Jangan beritahu siapa-siapa?" Lelaki berambut ikal dengan
warna kecokelatan ini berbisik pada teman sekelasnya sambil
mengendap-endap menuju pintu kelas.
Dicky Muhammad Prasetya menghembuskan napasnya, setelah berhasil
keluar dari kelas Matematika. Lelaki itu beranjak memakai topi 'WOLES'
dan berjalan santai, menelusuri lorong sekolahan yang sepi. Tentu saja,
karena ini masih jam pelajaran.
Darahnya berdesir ketika suara ketukan yang ditimbulkan oleh sepatu
mulai terdengar dari balik tembok. Dicky menyelinap masuk ke toilet
wanita yang memang letaknya tak jauh dari tempat yang ia pijaki semula.
"Hiks .. Kenapa mereka jahat denganku?" suara parau yang terdengar dari bilik toilet diujung membuat bulu kuduk Dicky meremang.
Suara seorang wanita. Dan.. Rasa ingin tahu Dicky meninggi. Ia tidak
bisa jika harus diam dan tidak tahu, well, ia memutuskan untuk
menguping.
"Kenapa aku tidak boleh menjadi Ketua Team, huh? Kemampuanku dalam
passing sangat hebat! Apa mereka pura-pura tidak tahu?" gerutu sang
pemilik suara lagi.
Dicky memincingkan mata, sepertinya ia tahu betul dengan sang pemilik suara. Tapi..
"Hei! Siapa kau?" bentakan itu membuat Dicky terlonjak kaget.
'Ah, bodohnya diriku' umpat Dicky dalam hati, merutuki kebodohannya.
Seorang gadis cantik dengan pipi apel itu muncul dari bilik pintu toilet ujung, "Kau.."
"Ah, bukankah kau itu Abas(anak basket) perempuan?" sela Dicky cepat.
"Ya, aku memang seorang abas wanita, tapi dulu." jawab gadis itu sambil mengusap jejak air matanya.
Dicky mengangguk mengerti atas penjelasan dari gadis yang ada di
hadapannya. Kemudian ia duduk bersila disamping gadis tersebut sambil
menjabat tangannya dan tersenyum ramah.
"Aku Dicky. Kau?"
Gadis itu membenahi rambutnya dan tersenyum kemudian membalas jabatan tangan Dicky, "Panggil aku Lala,"
"Lala?" ulang Dicky.
Lala mengangguk sambil tersenyum manis. Dicky sempat terpengarah
beberapa detik saat melihat lengkungan yang tercetak pada bibir ranum
gadis di hadapannya. Cantik.
*****
Termenung! Inilah yang tengah dilakukan gadis bermata bulat sempurna
ini sejak tadi. Tangan kirinya tampak bertopang diatas meja seraya
menampakkan ekspresi kalut pada satu titik pandangannya.
"Hai, Lala Poo."
Hampir saja tubuh mungil itu terjungkal kebelakang jika belakangnya
tidak ada tembok. Alhasil, Lala meringis kesakitan akibat kepala
belakangnya terbentur cukup keras oleh tembok terkutuk.
"Kau lagi? Aish.." pekik Lala tertahan sambil mengusap kepala belakangnya.
Dicky tersenyum polos dan membuat Lala semakin jengkel dengan tingkahnya, "Kau tidak makan?"
"Tidak, aku puasa."
"Ah, benarkah?" tanya Dicky menahan senyumnya, namun tak bisa. Alhasil ia merunduk.
"Eh, kau kenapa?" tanya balik Lala heran.
"Tidak apa-apa, kok." jawab Dicky tersenyum malu.
Seketika hening!
Lala memperhatikan wajah Dicky dengan seksama dan membuat Dicky
salah tingkah. Ketika Dicky akan mengajukan protesnya, para pengganggu
itu datang.
"Woah! Ada yang sedang pacaran, ternyata."
Dicky mengusap wajahnya dengan kasar. Perkenalkan, mereka adalah
Bisma, Reza, dan Ilham. Para pengganggu. Mereka bertiga adalah teman
sekelas Dicky.
"Maksudnya, apa?" Lala menggebrak meja kantin yang ia sanggahi.
Bisma, Reza, dan Ilham bergidik karena tatapan Lala yang begitu
horor pada mereka. Lagi-lagi, Dicky menahan senyumnya, namun ia berusaha
menahannya dengan memasang wajah polos.
"Ka-kalian..., siapa?" tanya Dicky ketakutan, berbanding balik dengan hatinya yang tertawa kencang.
"Eh, kau-"
"Hei, jangan ganggu dia! Kalian juga, jangan sok kenal." potong Lala menatap ketiga pria dihadapannya dengan sorot tajam.
"Ah, eh.. Dick, kau benar-benar tega pada kami! Kau kan teman kami,
Dick." ujar Bisma sembari memasang wajah memelas dan puppy eyes pada
Dicky.
"Dick, kamu kenal?" tanya Lala memincing tajam pada Dicky yang tengah gelagapan atas pertanyaannya.
"Eh? A-anu.. Ti-tidak. Ya, aku tidak mengenal mereka," jawab Dicky meyakinkan.
"Cah.. Kalian bisa dengarkan? Dicky bilang, dia tidak mengenali
kalian. Lebih baik kalian pergi. Sana!" Dengan ekspresi datarnya, Lala
berhasil membuat ketiga pria itu pergi menjauh dengan raut wajah masam.
"Hihihihii.. Siapa suruh mereka menjahiliku?" gumam Dicky pelan.
Lala melirik Dicky kemudian memasang ekspresi yang sulit diartikan, "Sungguh, kau tidak mengenali mereka?"
"Tidak, aku benar-benar tidak mengenali mereka. Ciyus!" Dicky mengangkat dua jarinya ke udara sambil memasang wajah polos.
"Oh." jawab Lala acuh.
*****
"Say it with flower." kata Sovira sambil mengunyah permen karetnya santai.
"Bunga? Eih, bagaimana bisa? Memangnya bunga bisa berbicara? Tentu tidak, Sop!" jawab Dicky jengah.
Sovira mendelik horor pada Dicky, kemudian sebuah pukulan mendarat
ke kening Dicky dengan keras. "Kau itu bodoh, atau apa? Setiap bunga,
itu mempunyai arti tersendiri. Dan... Hei! Jangan sebut aku 'Sop', aku
bukan jenis makanan."
"Oke. Maaf," ujar Dicky. "Jadi, bunga apa yang tepat untuknya?"
"Hummm... Bagaimana jika anyelir pink? Anyelir itu melambangkan cinta yang tulus." jawab Sovira.
"Ah, memangnya di Indonesia ada bunga macam itu?" tanya Dicky kesal.
"Ada."
"Oke, pesankan aku bunga itu," kata Dicky meringis lebar.
"Kau pikir aku kurir bunga, huh?" bentak Sovira kesal, kemudian melemparkan bungkus permen karetnya pada Dicky.
"Hehehe. Ya, maaf. Kau kan temanku yang paling baik dan selalu
mengerti aku.." rayu Dicky sambil mengeluarkan jurus puppy eyes-nya.
"Tsk! Kedipan matamu membuatku mual." Sovira pun beranjak memasang headset dan mengayuh fixie merahnya.
Dicky bersorak bahagia kemudian ia buru-buru menyalakan mesin motor
matic-nya dan berlalu menuju rumahnya. Dengan hati yang berbunga-bunga.
*****
Kupinta dirimu agar selalu mengenangku.
Bunga anyelir melambangkan perasaanku padamu, sang kekasih hati.
-Dicky Yang Paling Tampan-
Lala tertawa terbahak-bahak seusai membaca surat dari Dicky bersama
rangkaian bunga anyelir pink yang dibawakan Sovira ini. Sungguh, kali
ini, Lala ingin menjedotkan dahinya ke tembok juga. Kata-kata itu
bukannya membuat Lala tersipu, namun malah terlihat aneh. Bagi Lala, ini
konyol.
"Tawamu horor, Nona." kata Sovira pelan. "Selesai, bukan? Aku pamit. Ppai!"
"Eish, tunggu," cegah Lala menarik lengan Sovira.
"Aduh, ada apa lagi, sih?"
"Ah, mmm.. Dimana dia?" tanya Lala berusaha menahan senyumnya.
"Dimana, ya?" goda Sovira jahil.
"Aish, aku serius, Sop!" hentak Lala ketus.
Sovira menatap Lala dengan wajah pucat kemudian telunjuknya mengarah pada perpustakaan, "Lagi bertapa. Dah!"
Sovira berlari menuju kelasnya. Lala menghembuskan napas berat
sebelum melangkahkan kakinya menuju perpustakaan dengan bucket anyelir
pink ditangannya.
Bell istirahat telah selesai, namun masih banyak siswa-siswi berhamburan keluar kelas karena ada Class Meeting.
Lala melepas sepatu cats-nya dan meletakkannya pada rak sepatu.
Kemudian ia melangkah mendekati siswa penjaga perpustakaan untuk menulis
nama dan kelas. Hal itu dilakukan agar pihak perpustakaan maupun
sekolah tahu, siapa saja murid yang sering mengunjungi perpustakaan.
Dehaman tidak jelas mulai mengusik pendengaran Lala. Itu disebabkan karna bunga yang dibawanya.
"Dick.."
Dicky mendongak dengan mata terpejam. "What's up?"
"Hei, ini.. Aku." lirih Lala menarik-narik anak rambut Dicky kesal.
"Eumh.." Dicky menggeliat pelan, kemudian menerjapkan matanya dan membenarkan blazer-nya.
"Kamu tidur?" tanya Lala mendelik tak percaya.
"Iya, La. Aku masih mengantuk, kemarin malam aku frustasi karna memikirkan reaksi kamu." jelas Dicky setengah sadar.
"A-aku?" Wajah Lala memerah padam.
Dicky terdiam seketika! Apa yang ia katakan tadi? La? Lala, dong?
"Astaghfirullah!" pekik Dicky terlonjak kaget.
Seluruh pasang mata pun menatap Dicky dengan pandangan tidak suka. Dicky tersenyum masam menanggapinya.
"Ka-kau.. Ada apa?" tanya Dicky setelah keadaan kembali normal.
"Apa maksudmu ini?" tanya balik Lala sambil menunjukkan bucket anyelir-nya.
"Ya..., itu." jawab Dicky polos, kemudian menggaruk kulit rambutnya.
"Aku tahu lambang bunga anyelir, tapi apa maksud tujuanmu?"
"Ya, itu. Masa, kau tidak mengerti juga?" tanya Dicky.
Lala menghela napasnya, mencoba bersabar, "Aku tahu, dan aku mengerti!"
"TAPI, AKU INGIN KAU MENGATAKANNYA PADAKU. SEKARANG!" pekik Lala tertahan dengan penekanan disetiap kalimatnya.
"Eh?" Dicky salah tingkah.
Hening! Tidak ada suara lagi. Angin berhembus kencang dari arah
jendela samping mereka. Dicky merinding. Bukan! Bukan karna hawa di
perpustakaan, namun karna tatapan tajam yang dimiliki Lala berhasil
menghunus jantungnya.
"Lala, would you be my favourite Girl?" Lala melongo! Ia tak percaya
jika dengan suara lantang walaupun lirih, Dicky dapat berkata seperti
itu.
CUP!
Lala mendelik. Benda kenyal dan basah itu menempel pada bibirnya.
Sungguh! Anyone, adakah yang ingin membunuhku sekarang? Teriaknya dalam
hati. Darah mereka berdesir, degub jantung mereka terdengar jelas.
Apakah ini yang dinamakan cinta?
"Ehem!"
"Uhuk.. Uhukk.."
"Astaghfirullah.. Ya Allah."
Lala mendorong bahu Dicky dengan keras, kemudian merunduk dalam. Wajahnya sudah memerah padam.
Bisma, Reza, dan Ilham yang bersembunyi.. Eh. Tidak. Mengintip
tepatnya. Ketiga pria itu mengintip dari balik rak-rak buku berdekatan
dengan tempat Dicky dan Lala berkencan. Eh?
"Mmm-maaf." sahut Dicky gugup.
"Tidak apa-apa, kok." jawab Lala pelan.
"Tapi, La...? Jawabanmu?"
Lala beranjak berdiri kemudian membalikkan tubuhnya, memunggungi
Dicky yang terheran menatapnya. Gadis itu tampak mengeluarkan seluruh
ekspresi bahagianya, kemudian ia kembali memasang wajah datar dan
membalik tubuhnya menghadap Dicky.
"Aku.. Mau,"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar