Selasa, 28 Mei 2013

Kenangan Terinda (cerpen)


Seperti biasa, aku terbaring di Rumah Sakit ini lagi. Sudah 4 bulan aku bolak balik dirawat disini karena penyakit Ginjalku yang sudah lama berada di dalam tubuhku.
            Oiya, namaku Tasya Karmila, panggil saja aku Tasya. Hidupku memang indah, sangat indah malah. Tetapi, aku merasa keindahan itu tidak akan bertahan lama mengingat umurku sudah tidak lama lagi. Namun, aku beruntung, karena mempunyai sahabat yang sangat menyemangatiku dan selalu membuat hari hariku begitu berwarna. Sebut saja mereka Dicky, Gadis, Bisma, dan Reza. Merekalah semangatku untuk hidup.
 
“Hey, Sya?” panggil Dicky ketika aku baru saja mengerjapkan mataku. Aku melihat keadaan sekelilingku. Infus masih terpasang erat di tangan kiriku, seolah tak mau melepas tanganku itu
“Lhoh? Kok sepi banget, yang lain mana Ky? Enggak dateng ya?” tanyaku begitu aku menyadari kalau hanya aku dan Dicky yang berada di kamar itu. Dia mendekat, perlahan mengusap kepalaku dengan hangat. Menatap lembut kearah mataku dengan penuh perhatian
“Hihihi.. entar nyusul kok Sya, tenang aja ya..” dia mengacak rambutku dan menuju sofa. Mulai memasang earphone dan tertidur lelap. Sangat sunyi.
            Aku tidak tahan dengan situasi ini, aku meraih hapeku dan mulai mencari nama Gadis di kontak hapeku lalu meneleponnya.
Tuut..tuut..tuut..
“Halo? Gadis?” ujarku setelah telepon diangkat
“Iya, kenapa Sya? Tumben telepon?” ucap Gadis di seberang
“Iihh.. Gadiis.. kamu kemana ajaa? Aku sendirian nih di kamar, cepet kesini dong” ucapku sedikit marah padanya. Dia hanya tertawa kecil
“Hihi.. iya iya, aku udah sampe di Rumah Sakit kok, tinggal nyari kamar kamu.. sabar yaa” ujar Gadis menenangkan. Aku menutup telepon dan memandang kearah jendela. Matahari bersinar sangat terang, sinarnya seolah berebut ingin masuk kedalam kamarku yang memang jendelanya kututup rapat. Langit berwarna biru terang, semoga saja sisa sisa hariku seperti ini adanya. Damai, cerah, dan juga tenang. Pikirku menerawang jauh
 
“Sya? Tasyaa?” ucap seseorang yang amat kukenal suaranya. Suara yang selalu mengisi hari hariku. Siapa lagi kalau bukan Gadis. Aku menoleh kearahnya, aku tersenyum ceria, walau rasa sakit ini belum hilang.
“Lhoh? Kok sendirian? Bisma sama Reza mana?” tanyaku ketika mengetahui Gadis datang seorang diri. Biasanya, Gadis selalu bersama Reza dan Bisma
“Oh, mereka nggak bisa dateng Sya, ada acara apa gitu..” jelas Gadis sambil menaruh buah yang dibawanya untukku
“Dicky mana Sya?” tanyanya
“Tuh, lagi tidur di sofa” tunjukku kearah sofa yang dipenuhi oleh barang barang Dicky dan tentunya ada Dicky. Gadis hanya geleng geleng kepala melihat tingkah Dicky.
            Aku lalu mencoba memejamkan mata dan memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sangat indah, yang tidak ada di dunia nyata. Seperti surga, penuh kedamaian dan ketenangan. Tidak keras seperti hidup di dunia.
 
2 minggu kemudian..
Aku diperbolehkan pulang, mamakulah yang menjemput. Dan juga tak ketinggalan ada sahabat sahabatku disitu. Bisma dan Reza mengangkat barang barangku, sementara Dicky dan Gadis membantuku turun dari kasur. Mamaku mengurus kepulanganku di Administrasi.
Selama di mobil, aku lebih banyak diam dan mendengarkan ocehan sahabat sahabatku yang bahagia aku pulang
“Lhoh? Sya, kok kamu diem? Biasanya kamu rame kaya kita lho.. kenapa Sya?” tanya Bisma yang melihatku melamun di jendela. Aku tidak menjawabnya, malah tidak menyadari kalau Bisma bertanya padaku
“Sya?” ulang Bisma sambil memegang bahuku. Aku menoleh
“Iya? Kenapa Bis?” tanyaku padanya yang memandangku heran
“Kamu kenapa sih Sya? Aneh banget..” ucap Bisma sambil kembali duduk seperti semula. Aku terdiam, keadaan saat itu sangat hening. Hingga kuputuskan untuk menyanyi
 
`kita kan slalu bersama.. dalam suka duka.. berbagi segalanya, tak terpisahkan..` (cherrybelle- Best Friend Forever)
 
Perlahan, semua sahabatku ikut menyanyi bersamaku. Dan kita saling berpegangan tangan seolah tidak ingin terpisah. Aku tersenyum pada Tuhan
 
“Ya Tuhan, tolong jaga ikatan persahabatan kita, tolong jagalah senyuman tulus mereka, karena itulah sumber semangatku. Aku tidak ingin air mata menetesi pipi mereka yang selalu berseri, aku tidak ingin air mata melunturkan senyuman indah mereka. Jagalah mereka, jangan sampai mereka merasakan hal seperti aku .. aku hanya ingin mereka bahagia.. amiin” doaku dalam hati. Tak terasa, air mataku mengalir perlahan. Aku menangis dalam diam. Aku tak ingin mereka tahu aku menangis. Aku ingin mereka terus tersenyum bahagia. Senyuman kalian begitu sempurna. Bagiku.
 
            Esoknya, aku mulai beraktifitas kembali. Seperti sekolah, mengikuti berbagai macam kegiatan sekolah, dll. Aku merasa sudah sehat.
Saat ini, aku sedang bersiap ke sekolah dengan diantar oleh Reza. Tetapi, hal buruk terjadi. Saat sedang menyisir rambut, beberapa helai rambutku rontok. Kemudian aku kembali menyisir, makin banyak rambutku yang rontok. Mungkin ini pengaruh obat yang begitu banyak masuk kedalam tubuhku. Kuputuskan untuk merahasiakan semua ini kepada siapapun
Cekrreeekk.. pintu dibuka oleh mamaku
“Sya, Reza tuh.. ayo cepetan” kata mamaku sambil mengambilkan tasku dan memberikannya padaku. Buru buru aku menyimpan sisir itu
“Iya ma.. Tasya berangkat dulu ya..” pamitku lalu menuju keluar. Tiba tiba, mendadak kepalaku menjadi sangat berat, dan pandanganku mengabur. Hampir saja aku terjatuh, untungnya aku masih dapat menjaga keseimbanganku.
“Sya, kamu yakin mau sekolah? Mukamu pucet banget lho” kata Reza setelah kita berada di dalam mobilnya. Aku tersenyum ceria, walaupun dalam hati sangat pedih
“Iya Za, kamu percaya deh sama aku, aku nggak papa kok.. ya?” ujarku meyakinkannya. Reza mengangguk dan mulai menjalankan mobilnya menuju sekolah
            Sesampainya di sekolah, aku berjalan perlahan ke kelas dengan menggandeng tangan Reza erat. Karena aku merasakan kepalaku pusing dan tubuhku sangat lemas. Aku berusaha menyembunyikan kesakitan ini dari Reza, namun..
“Tasya!!” serunya saat melihat aku tergeletak pingsan di sampingnya. Dia lalu menggendongku menuju mobil dan membawaku pulang
Tubuhku sangat lemah, sampai aku menggerakan tangan saja tidak bisa. Nampak seperti orang yang lumpuh total. Aku hanya bisa membuka mataku saja dan berbicara. Aku ingin minum, aku berusaha mengambilnya sendiri, tetapi, rasanya gelas yang berada di sampingku itu jaraknya terasa sangat jauh. Mamaku menyadari kegiatan yang baru saja aku lakukan. Dia mendekatiku dan tersenyum
“Kamu mau minum sayang?” tanya mamaku lembut. Aku mengangguk pelan. Mamaku mengambilkan gelas itu untukku
“Makasih ma..” ucapku perlahan sebelum meminum air itu. Mamaku tersenyum dan mengelus lembut kepalaku. Ada perasaan bahagia saat aku diperlakukan seperti itu. Aku merasa, aku tidak sendiri, masih banyak orang yang menyayangiku dan menginginkanku hidup. Tetapi, aku hanya bisa pasrah dengan takdir Tuhan.
            Mendadak, dari hidungku keluar cairan merah kental.. aku mengambil tissue dan mengelapnya, ternyata.. itu darah! Aku berusaha mengambil obat dalam tasku, namun..
“Aduuuhh!!! Sakiittt..!!!” jeritku ketika sedang mengambil obat, dadaku seperti ada yang menusuk dan perutku terasa sangat sakit. Lalu akhirnya, aku memuntahkan cairan berwarna merah, yaitu darah. Tak lama kemudian, semua menjadi gelap
“Masyaallah! Tasya!” ucap seseorang saat memasuki kamarku. Ya dialah Dicky. Tiba tiba, teriakan Dicky tadi membuat Gadis, Bisma, dan Reza panik lalu berlari menuju Dicky
“Kenapa Di.. Masyaallah!!” belum selesai Gadis berbicara, dia sudah meneteskan air mata dan duduk disamping kasurku
“Sya.. banguun Syaaa…” ucapnya terisak sambil menggoyangkan bahuku. Berusaha membuatku terbangun
 
>Di Rumah sakit
 
Mendadak seluruh keluargaku dan sahabatku menjadi cemas. Mengharapkan aku tidak pergi untuk selamanya. Tak lama, dokter keluar dengan wajah sangat sedih
“Bagaimana Tasya dok?” tanya mamaku sambil tetap meneteskan air mata. Sejenak dokter menghela napas panjang lalu bercerita
“Penyakit Tasya bertambah parah, saya takut jika infeksinya akan merambat ke jantung dan akan menghambat pernafasannya. Jadi saya akan melakukan pengangkatan ginjal dan menggantikan dengan ginjal yang baru. Namun, dalam penggantian ginjal ini, tidak bisa sembarang orang yang menggantikannya. Harus ginjal yang benar benar cocok dengan Tasya, jika tidak, maka nyawa Tasya dan yang menyumbangkan ginjal akan terancam” ucap dokter panjang lebar yang membuat mamaku jatuh pingsan.
“Dok.. biarkan saya yang mendonorkan ginjal saya dokter..” ujar Dicky tiba tiba. Sontak semuanya terkejut dan seakan tidak percaya dengan apa yang dilakukan Dicky. Hal yang menurut semuanya nekat. Karena hal itu dapat membuat Dicky meninggalkan kita semua selamanya.
“Hah? Kamu gila ya Dick? Kamu mau bahayain hidup kamu? Hah!” bentak Gadis saat Dicky mengatakan hal nekat itu. Dicky menggeleng tegas dan tersenyum
“Dis, aku bukannya gila, tapi aku mau nolongin sahabat kesayanganku dan kesayangan kita semua, apa itu salah?” Dicky dengan tenang menjawab kekesalan Gadis dengan jawaban yang singkat namun sedikit aneh di telinga Gadis
“Kamu salah Dick! Kamu nggak seharusnya nolong orang dengan cara nekat kaya gini! Ini sama aja kamu bahayain diri kamu sendiri! Ini bisa nyebabin kamu MENINGGAL!” bentak Gadis sekali lagi. Namun, kali ini disertai isak tangis dari Gadis. Dicky hanya diam termenung. Dia merasa kasihan melihat Gadis, namun tekadnya sudah bulat untuk menolongku.
“Maaf Dis, aku nggak mau buat kamu sedih, tapi aku tetap akan menolong Tasya. Apapun caranya, Tasya harus sembuh. Inget Dis, Tasya udah banyak berkorban buat kita, kenapa sih kita nggak balas pengorbanannya dengan merelakan aku membantunya?” kata Dicky sambil mendekap erat Gadis. Kini Gadis pasrah dengan apa yang akan dilakukan oleh Dicky. Pikirannya belum begitu jernih mengingat jika dia harus kehilangan Dicky atau Tasya, ataupun bahkan keduanya. Dia hanya mampu berdoa
 
“Ya Tuhan, tolonglah bantu kami, berilah petunjukmu, apakah yang sebaiknya kami lakukan? Aku tak mau Dicky atau Tasya meninggal. Mereka sahabatku yang sangat aku sayang. Tolonglah Tasya, sembuhkanlah dia .. dan tolonglah Dicky, berikan dia keselamatan saat menolong Tasya Ya Tuhan.. aku ingin mereka semua selamat.. aku mohon.. amin” doanya dalam hati. Setelah keadaan hatinya lebih tenang dari sebelumnya. Akhirnya dia dapat merelakan Dicky menolongku.
“Baiklah dok, biarkan saya saja yang menolong Tasya” kata Dicky kemudian. Sesekali dia menatap Gadis yang masih menangis lalu tersenyum kearah Gadis.
“Baik, ayo menuju ruang operasi” Dicky kemudian berjalan mengikuti dokter menuju ruang operasi, walaupun diiringi oleh tangisan Gadis.
 
15 menit berlalu..
Dokter keluar dari ruang operasi dengan sarung tangan penuh darah. Reza yang pertama mengetahui langsung menyerbunya dengan berbagai pertanyaan
“Bagaimana dokter?” tanyanya sambil berusaha melihat kedalam, tetapi ruangan itu masih tertutup
“Operasi berjalan lancar, namun..” dokter menghela napas panjang
“Namun apa dokter?” kini giliran mamaku yang khawatir dengan keadaanku dan Dicky
“Namun, kondisi Dicky saat ini kritis.. tapi tenang, kami akan berusaha untuk menyembuhkannya, agar dia dapat kembali ceria” ungkap dokter yang membuat Gadis sesenggukan. Bisma berusaha menenangkan sahabatnya yang sedang sedih itu.
“Bener kan apa yang aku bilang?! Dicky bakal kaya gini! Kalian itu nggak pernah percaya sama aku!!” bentak Gadis di depan sahabat dan keluargaku disertai tangisannya. Lalu pergi begitu saja tanpa sempat menjengukku
 
2 jam kemudian..
            Aku kini sudah bisa merasakan kehidupan. Lewat hembusan nafas yang sudah dapat aku keluarkan. Aku mencoba membuka kedua mataku. Menggerakkan kedua tangan dan kakiku yang masih kaku. Kurasakan bekas operasi itu masih ada di perutku.
“Aduuh..” kucoba untuk bangun, namun rasa sakitnya masih terasa. Nyeri.
“Tasya? Kamu ngapain sayang?” mamaku tiba tiba saja telah berada di sampingku
“M..ma.. adduuh.. Di..Dicky mana ma?” tanyaku saat berhasil duduk. Mamaku hanya menunduk dan menujukkan wajah bersedih
“Ma? Dicky nggak papa kan? Dia kenapa ma?” tanyaku sedikit khawatir dengan keadaan Dicky. Mamaku mengusap air matanya dan menatapku dalam
“Dicky kritis Sya setelah nolongin kamu, dia yang donorin ginjalnya buat kamu, tapi tenang aja sayang, dia pasti selamat, kamu berdoa aja ya” kata mamaku yang membuat dadaku sesak. Jadi, Dicky mempertaruhkan nyawanya demi aku? Dan kini, dia sedang berusaha melawan maut yang sudah ada di depan matanya. Tak terasa air mataku sedikit demi sedikit menetes perlahan.
“Ma.. aku mau lihat Dicky..” ujarku sambil menarik selimutku. Namun, mamaku lagi lagi melarangnya
“Jangan sayang, kamu masih belum sembuh.. lukamu masih basah sayang” kata kata mama kali ini tidak ku dengarkan. Aku langsung berjalan menjauh. Tapi, tiba tiba.. bruuk aku terjatuh, namun aku berusaha untuk bangkit dan berlari menuju ruang ICU. Tempat Dicky dirawat
 
Selama menuju ICU, aku tak henti hentinya menangis, mengingat kenangan kenangan indah bersama Dicky, saat pertama aku bertemu dengannya. Saat dia mengusap kepalaku dan mengecup keningku untuk yang pertama kali. Aku lalu mulai mengingat senyuman khasnya yang dihiasi oleh behel biru yang lucu. Senyum yang selalu mengembang selama ini, akankah hilang untuk selamanya? Mungkinkah setelah ini aku tidak dapat bertemu Dicky kembali?
 
“Ya Tuhan.. tolonglah Dicky, kembalikan dia kepada kami, kami ingin dia selalu tersenyum untuk kami. Ya Tuhan, jangan kau ambil dia untuk sekarang, aku sayang dengannya. Aku tidak ingin terpisah dengannya. Dicky.. kamu kuat ya.. kamu pasti bisa sembuh Dicky.. aku selalu ada buat kamu Dicky..” batinku sambil tetap berjalan. Akhirnya aku tiba di ICU. Di depan ruangan banyak sekali orang yang menunggui. Termasuk Bisma, Reza dan tentunya.. Gadis.
“Bis..” kataku lirih sambil memegangi perutku yang tertutupi kain yang telah berwarna merah. Ya, lukaku kembali terbuka, kini darah itu keluar
“Masyaallah.. Tasya!” seru Bisma saat melihatku sudah berada di sebelahnya.
“Dicky .. Dicky.. gi..mana Bis?” ujarku sambil menahan rasa sakit yang luar biasa
“Hm.. Dicky masih kritis Sya, doain aja ya” kata Bisma menenangkanku. Aku mengangguk sambil memegangi perutku yang sudah memerah
            Cekreek.. pintu ICU dibuka. Dokter keluar dengan keringat bercucuran dan muka yang pucat. Perasaanku mulai tidak menentu. Hatiku berkata, ada yang tidak beres. Ternyata..
“Bagaimana dok? Dicky baik baik saja kan?” tanya Reza cemas. Dokter menunduk dan menghela nafas panjang
“Maaf.. Dicky.. dia.. Dicky.. sudah pergi” kata dokter kemudian. Diiringi teriakan dan isakan tangis Gadis. Aku yang belum percaya dengan semua ini, menerobos masuk menuju pembaringan Dicky. Terlihat, wajah manisnya yang pucat dan kaku tersenyum kearahku. Tubuhnya yang terbujur kaku terasa dingin. Kugenggam tangannya yang tidak bergerak dari tadi. Kubelai rambutnya dan kukecup pipinya. Berharap dia bangun kembali
“Sya..” ucap mama Dicky
“Tante.. lihat deh.. Dicky kalo tidur lucu banget ya.. pake senyum lagi. Haha.. pasti deh bentar lagi bangun” kataku sambil terisak. Mama Dicky mengusap bahuku
“Sabar ya sayang.. Dicky pasti akan tenang disana..” ucapnya menenangkanku. Namun aku masih menganggap Dicky masih hidup
“Ssst.. tante.. jangan ribut ya.. nanti Dickynya kebangun lagi. Dicky itu pasti bakal kebangun kalo ada suara rame rame. Lihat deh.. tidurnya lelap banget..” ucapku sambil menangis. Aku yang sudah mulai sadar akan kepergian Dicky, mulai tak terkontrol
“Dicky.. bangun Ky, aku kangen sama kamu.. Dickyy.. Banguunn!!! Ahaha.. ga lucu Dick! Kamu mau ngerjain aku kan?? Hah! Ini ga lucu tau Dicky! Bangun yaa.. lihat deh.. disini ada mama kamu, ada Bisma, Reza, aku n Gadis. Kita semua nungguin kamu bangun.. kamu masa mau sih ngerjain kita semua yang lagi nangis? Haha.. ayo dong banguun.. Dickkyy!!! Aku mau lihat senyum manis kamu lagi.. aku kangen kekonyolan kamu dan aku kangen kamuu… inget ga sih waktu pertama kali kita ketemu? Kita ketemu waktu main sepeda .. dan aku jatuh.. kamu kan yang nolongin aku? Itu lucu banget deh.. terus kamu tiup tiup luka aku biar kering.. makanya kamu bangun Dick.. aku mau .. aku mau.. kita terus bersama!! DICKYYYY!!!” aku menggoncang goncangkan tubuhnya yang sedari tadi terbujur kaku. Aku menangis sejadi jadinya. Aku memeluk jasadnya yang sudah bersamaku sejak kecil.
“Sya..” Gadis memelukku dan berusaha menenangkanku. Aku menangis di pelukannya. Sampai akhirnya.. semua tubuh Dicky tertutup kain putih
 
3 tahun kemudian..
 
Ini adalah tahun ketiga Dicky meninggalkanku. Aku belum bisa melupakan hal itu. Apalagi, melupakan kenangan kenangan bersamanya. Terlalu indah untuk dilupakan.
Aku berziarah ke makamnya. Aku meletakkan setangkai bunga di depan nisannya
“Happy Valentine Dicky.. aku kesini Cuma mau minta maaf.. kalau selama ini aku ada salah sama kamu. Aku Cuma mau jadi sahabat yang terbaik buat kamu. Makasih ginjalnya.. aku nggak akan menemukan sahabat sebaik kamu Dick. Aku bisa merasakan kehadiranmu melalui ginjal ini. Demi aku kamu rela terkubur dalam sini. I hope you always remember me.. walaupun kamu di surga.. kamu jangan lupain aku ya.. apalagi kenangan kita.. jangan lupa.. sampaiin salamku ke Allah.. J aku juga udah pesen sama malaikat buat terus jagain kamu.. biar kamu nggak luka dan selalu baik baik aja J thanks for everyting..” ucapku lalu mengecup sejenak nisannya. Lalu aku meletakkan sebuah kotak berisi foto foto kita. Kenangan kenangan terindah kita. Aku hanya ingin berbagi dengannya. Hanya dengan orang yang sangat ku sayang.
           
            Aku mulai melangkahkan kaki menuju suatu yang baru. Dengan semangat baru dan tentunya.. ginjal baru dari Dicky. Walaupun aku tidak akan hidup abadi, namun aku tau, suatu saat nanti, aku pasti bisa mendonorkan ginjal ini pada orang yang kusayang pula. Seperti pengorbanan yang dilakukan oleh Dicky padaku. Dia pasti senang disana. Karna kita akan bertemu kembali jika masa mengijinkan ku untuk bersamanya.

_SELESAI_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar